Antara Fakta dan Bias: Realita Dunia Maya Saat Ini

Pagi ini sungguh menyebalkan… Tampaknya hampir semua konten yang dipublikasikan di media sosial, bahkan oleh para pengguna Q**** sekalipun, mulai mengundang perdebatan di antara khalayak umum.

Frajna Puspita
5 min readApr 26, 2020
Photo by Ümit Bulut on Unsplash

Saya baru saja berdebat dengan pasangan mengenai sebuah peribahasa yang tidak diketahui siapa yang menciptakannya (anonim), “Singa memang raja hutan tetapi serigala tidak pernah bermain di sirkus”. Peribahasa ini kemudian dibahas di suatu platform pertanyaan di Q**** dan menuai ribuan upvote sejak di upload beberapa hari yang lalu. Dalam platform ini, si penjawab menjelaskan tentang peribahasa tersebut bahwa kelompok yang bertipe singa adalah orang-orang yang berkuasa yang seringkali terpaksa melakukan hal-hal yang mereka benci meskipun hidup mereka mapan. Sedangkan di sisi lain, kelompok yang bertipe serigala adalah orang-orang yang memilih kebebasan berpikir, atau kebebasan lain, di atas segalanya. Penjelasan si penjawab ini mengundang banyak pedebatan akibat pernyataan yang tidak berimbang. Banyak yang mendukung dan setuju dengan penulis, tidak sedikit pula yang meragukan kebenaran peribahasa tersebut.

Oke, mari kita lihat dari sisi kebenaran dari peribahasa itu sendiri, “Singa adalah raja hutan”. Faktanya, singa tinggal di savana/padang rumput, bukan hutan. Ya, juga memang benar adanya bahwa seringkali kita melihat singa-singa dalam sebuah sirkus, tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa serigala pun bermain sirkus, kan? Jadi melihat dari konteks berdasarkan fakta yang ada, ini saja menurut saya sudah blunder dan sangat bertumpu pada stereotipe tentang hewan-hewan malang yang saya sebutkan tadi. Lagipula, menurut saya peribahasa ini sangat bergantung pada bias. Manusia tidak bisa disamakan dengan binatang sih, seperti halnya elite negara yang disamakan dengan singa. Orang-orang yang ingin kebebasan pun belum tentu adalah serigala. Sistem buatan manusia lebih kompleks daripada sekawanan singa yang hidup di savana. Bahkan, serigala pun BUKAN simbol kebebasan.

Jadi, saya bisa menyimpulkan bahwa ini adalah peribahasa yang sangat bias, juga hanya menggambarkan keadaan menurut sudut pandang orang-orang tertentu dan tidak secara umum.

Saya rasa, begitu lah adanya realita saat ini. Banyak orang yang justru menelan mentah-mentah apa yang ia baca di internet kemudian senantiasa mempercayai bahwa itu adalah benar adanya, tanpa mengecek fakta terlebih dahulu. Dunia itu bukan hanya sekadar hitam putih. Dunia justru mengandung spektrum warna yang lebih kompleks. Kebiasan informasi hanya membawa pertikaian yang mampu memecah belah keharmonisan aneka-ragam pemikiran. Hanya orang-orang yang cukup teliti dan tidak termakan asumsi lah yang mampu membedakan apakah sebuah informasi layak diterima atau tidak. Saya sih, bergantung pada fakta yang ada. Fakta ini bukan semata-mata fakta saintis ya, tetapi fakta di lapangan. Tetapi, lagi-lagi, harus berhati-hati. Karena mengambil fakta dari lapangan bukan berarti kita bisa menjustifikasi bahwa apa yang terjadi disitu memang terjadi pada semua orang. Manusia itu kompleks lho, oleh karena itu, asumsi adalah sesuatu yang haram dan saya sangat tidak menganjurkan kalian untuk melakukannya. Bahkan, menurut saya, penelitian kuantitatif juga bisa diragukan sih, karena hanya mengambil sebagian sampel dari sekian ratus anggota suatu lingkup tertentu pun masih memberikan ruang untuk ketidakakuratan penafsiran — Makanya skripsi yang saya kerjakan sekarang bersifat kualitatif hehe.

Saya sempat membaca sebuah fakta: Di saat orang membaca sesuatu, pada awalnya, orang itu dipenuhi oleh subjektifitas, ia masih mempercayai sesuatu sesuai dengan kebenaran yang dia anggap paling masuk akal. Kesubjektivitasan dalam berpikir ini dipengaruhi oleh sifat emosional pada manusia, inilah kenapa kita tidak akan pernah mencapai kebenaran yang absolut — terlepas dari pembahasan hal konkret. Menjauhi asumsi dan bias itu hampir mustahil, tetapi untuk tidak terkontrol oleh asumsi dan bias itu cukup gampang kok untuk dilakukan. Salah satu kuncinya adalah dengan berpegang pada akal sehat dan fakta pendukung yang kredibel. Tetapi, apa jadinya bila hal yang mempengaruhi keputusan kita untuk mempercayai suatu fakta dipengaruhi oleh orang lain, seperti… let’s say, influencer?

Pagi ini, saya baru saja mendengarkan podcast seorang influencer terkenal di Indonesia berinisial DC yang mewawancarai seorang musisi terkenal, YL tentang pandemi corona. CORONA, lho. Maaf ya, bukan maksud saya untuk merendahkan kredibilitas YL sebagai narasumber. Tetapi, dilihat dari apa yang dia lakukan, ia adalah seorang rapper yang hanya terkenal di internet dan seringkali melakukan tindakan yang kontroversial. Hal yang diisukan dalam lagu-lagunya pun merupakan topik-topik ringan, seperti percintaan dan gaya hidup ABG. Sangat jauh konteksnya dari COVID-19 yang justru harus dibahas dengan lebih mendalam dan kritis. Saya sih, sebenarnya tidak peduli dengan apapun yang DC katakan maupun karya yang YL ciptakan. Tetapi saya lebih mengkhawatirkan orang-orang yang mendengarkan podcast mas DC ini, lho. Tidak semua orang dianugerahi privilej untuk berliterasi. Tidak semua orang pula bisa kritis akan info yang ia ‘makan’ setiap hari. Dengan berbekal YL sebagai narasumber — yang mempercayai bumi datar karena tidak pernah ke luar angkasa dan melihat dengan matanya sendiri bahwa bumi itu bulat, COVID-19 justru seperti sebuah lelucon teori konspirasi yang sangat blunder. Of course, people are sooo loving that! Apa yang dilakukan DC menurut saya akan menambah keresahan untuk segelintir orang yang sadar akan seriusnya wabah ini, juga memberatkan para tenaga medis yang telah bersusah payah untuk mengobati. Bagi mereka yang tidak sadar pun dapat berakhir sama buruknya, bisa saja mereka melenggang keluar rumah dengan mempercayai bahwa COVID-19 hanya lah sebuah teori konspirasi dan tanpa mereka ketahui, mereka turut menyebarluaskan wabah ini hingga lebih parah dari sebelumnya. Resikonya, lebih banyak korban yang bergelimpangan dan saya ngeri untuk membayangkan efek domino pada ruang lingkup yang lebih besar lagi.

Ya, saya mengerti, menjadi seorang influencer itu enak sekali. Seakan-akan apapun yang dikatakan dipuja-puji oleh para pengikut, para influencer juga terbantu secara finansial (tidak perlu mengeluarkan uang karena sudah di endorse), dan berbagai keuntungan lainnya. Tetapi, menjadi seorang influencer pun mempunyai resiko yang lebih besar apabila tidak berhati-hati. Sangat diperlukan bagi para segenap influencer untuk senantiasa mengecek informasi tersebut sebelum menyebarkannya, juga menerapkan etika profesi jurnalistik dalam menanggapi suatu informasi, salah satunya yaitu dengan akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Karena lagi-lagi, pada masa sesulit ini, menurut saya, yang orang-orang butuhkan adalah kepastian. Juga, khalayak umum memegang peranan penting dalam penyebaran informasi, dan saya rasa sudah merupakan hal yang sangat esensial bagi pengguna sosial media untuk membedakan mana informasi yang faktual maupun yang berdasarkan bias. Informasi yang faktual adalah informasi yang mencerminkan keadaan yang sebenarnya dan didukung oleh sumber dan data yang kredibel. Saya rasa di era informasi yang membanjir ini, fakta dan kebenaran cukup mudah untuk didapatkan. Sisanya kembali bergantung pada diri sendiri, apakah lebih memilih menjadi kritis atau membiarkan diri sendiri terlena dengan informasi yang dibuat-buat?

Keputusan sekarang ada di tanganmu.

--

--